Kamis, 14 Januari 2010

Hendri Mulyadi

Hendri Mulyadi adalah salah satu penonton setia sepakbola Indonesia. Dengan penuh semangat ia berangkat menuju pertandingan sepakbola Indonesia VS Oman. Berharap para pemain timnas Indonesia menyajikan permainan terbaiknya. Namun ketika dukungannya seolah tak dibalas oleh permainan timnas Indonesia di lapangan, malah rasa kecewa yang didapatnya. Padahal tiket sudah dibeli, seragam merah putih telah dikenakan, teriakan penuh semangat pun sudah diberikan.

Ia hanya satu dari jutaan penonton lainnya yang berani menyuarakan kekecewaannya. Saya pun tidak akan seberani dia untuk turun langsung ke lapangan. Memang menang atau kalah tidak menjadi masalah bagi Hendri Mulyadi yang setia mendukung timnas Indonesia. Menang atau kalah, yang penting para pemain/penampil di lapangan mempertunjukkan permainan terbaiknya. Itulah yang seharusnya dilakukan ketika para penonton telah datang untuk memberikan dukungannya. Kalian para pemain timnas Indonesia adalah wakil kami di lapangan sepakbola. Rasakan semangat kami mengalir dalam nadi kalian. Agar di esok hari, kalian bisa bermain sepakbola lebih baik lagi!

Mati

Kematian? Hmm...Suatu hal yang sebelumnya sama sekali gak pernah ada di pikiran gue. Biasanya yang gue pikirin cuma gimana caranya bisa mapan sebelum umur gue 25 tahun supaya bisa beli mobil, rumah, dan nikah secepatnya. Tapi setelah itu apa lagi?

Nah, di situlah gue mulai menyadari bahwa satu persatu orang yang gue sayangi mulai kembali kepada-Nya. Mulai dari eyang, tante, dan temen sekolah. Cepat atau lambat pun gue juga akan kembali kepada-Nya. Entah gue suka atau enggak!

Akhirnya gue sampai pada satu kesimpulan, kalau gue gak perlu mikirin kematian karena dia pasti akan datang. Yang perlu gue lakukan sekarang hanya menikmati dan menjalani semua yang udah gue punya sekarang. Jalani aja hidup dengan santai kayak di pantai dan slow kayak di pulau!

Selasa, 12 Februari 2008

Dagelan selingan

Pada suatu hari ketika Hitler sedang memerintahkan agar anak buahnya memusnahkan ras Yahudi yang ada di Jerman, salah seorang bawahannya menanyakan sesuatu.

Bawahan : Pak, ko bapak sadis banget sih? apa ga’ takut masuk neraka?

Hitler : Bener juga ya omongan kamu, saya ga’ pernah kepikiran tuh.
Gimana kalo kamu mati duluan, nanti kamu telepon saya kalo sudah
sampai neraka? kalo ternyata neraka menyeramkan, ya...saya akan tobat.

Bawahan : Ya jangan saya deh pak, orang lain aja gimana?

Hitler : Kalo kamu menolak, nanti keluarga kamu juga saya bunuh!!

Bawahan : Yah oke deh kalo bapak ngancemnya bawa-bawa keluarga

Setelah itu eksekusi langsung dilaksanakan (dorr suara letusan pistol terdengar).
Sehari kemudian si bawahan menelepon dari neraka,begini kira-kira percakapannya.

Bawahan : Halo pak, saya sekarang melaporkan langsung dari neraka.
Saat ini di neraka lagi musim dingin pak, terus tempat saya home stay
orangnya ramah banget.

Hitler : Hah, serius kamu? saya denger kabar kalo di neraka itu makanannya
bara api, terus juga ada yang bilang di neraka panas banget.

Bawahan : Ah bohong tuh pak, saya aja di sini makannya steak terus, sampe-sampe
berat saya nambah.

Hitler : Ok kalo gitu berarti saya ga’ perlu tobat, bye see you.

Sampai suatu saat Hitler mati bunuh diri...

Hitler : Oh dimana ini panas sekali, kenapa ada api dimana-mana?

Malaikat : Ente di neraka cing, ya jelas lah panas.

Hitler : Lho kemaren bawahan saya masuk neraka, ga’ kayak gini.
Dia bilang lagi musim dingin, udah gitu makannya steak terus tiap hari.

Malaikat : Ha..ha..ha.. (ketawa terbahak-bahak)
Telat lo cing...
Ya iyalah pan kemaren kita lagi menggalakkan ”Visit Neraka” gara-gara
wisatawan yang dateng kesini jumlahnya menurun.
Sekarang promonya uda selesai cing, makanya nonton berita!!

Selasa, 22 Januari 2008

Kisah selanjutnya dari 'Si Gorila'

Di suatu hari ketika syuting “AKUAH”
Ini adalah percakapan antara bung gorila dan pak sutradara yang dikutip dari sumber terpercaya
Tanpa maksud apa pun, jika ada yang sakit hati mohon rasakan saja.

Bung gorila : Pak sutradara, kayaknya angle shotnya kurang ’gimana gitu’?

Pak sutradara : Maksud bung, ’gimana gitu’ gimana?

Bung gorila : Ya ’gimana gitu’, gitu deh pokonya, ngerti kan maksud saya?

Pak Sutradara : ’Gimana gitu’ maksudnya apa? coba jelaskan dengan seksama!

Bung gorila : Huhahuhahuahaahh....huh...hahah
(Bung Bung gorila tampaknya mencoba menjelaskan dengan bahasanya,
tanpa sadar bahwa lawan berbicaranya adalah manusia)

Pak sutradara : Sorry I don’t speak gorillaZ....

Bung gorila : Okey saya jelaskan dengan bahasa manusia
Maksud saya anglenya kurang ’gimana gitu’, ngerti kan?

Pak sutradara : (Suara hati pak sutradara berkata, Astaga ni bung gorila, dari tadi
ngomongnya cuma ‘gimana gitu gimana gitu mlulu’, gua kepret mencret
lo)
Gini ya bung Bung gorila, mau pisang ambon ga?

Bung gorila : Mahu mahu, huhuhahahuhu henak huh

Pak sutradara : Kalo mau, tolong diam jangan ganggu saya lagi!

Akhirnya syuting berhasil selesai dengan lancar karena bung gorila berhasil dijinakkan dengan sebuah pisang Ambon sehingga bung gorila tidak pernah mengganggu pak sutradara lagi.
Sampai jumpa lagi dalam kisah gorila berikutnya...

THE END

Rabu, 25 Juli 2007

Sebuah karya pendek karya saya

AKU…MESIN TIK TUA

Aku, ya aku cuma sebuah benda yang selalu digunakan para manusia dalam hidupnya sehari-sehari. Mereka tidak pernah bisa lepas dariku, karena mereka membutuhkanku. Tapi kerja mereka hanya menyia-nyiakan aku, aku adalah mesin ketik yang sudah tua. Dulu mereka selalu menggunakanku, tapi sekarang sejak zaman sudah lebih maju dan ditemukannya komputer, kini mereka membuangku, menyia-nyiakanku. Sekarang aku sadar aku hanya mesin tik usang yang sudah tua termakan zaman.

Stabilo

Saat masih kecil saya tinggal di sebuah desa dikota Solo, keluarga saya tergolong keluarga yang sederhana. Saya adalah anak paling tua, dengan mempunyai dua orang adik, saya jadi terbiasa untuk mengalah. Dalam hati, saya selalu bertekad untuk menjadi orang yang kaya & dapat dikenang semua orang walaupun nanti saya telah tiada. Pendidikan terakhir saya tamatkan di SMA Negeri 1 Solo, saya tidak melanjutkan ke perguruan tinggi karena terbentur masalah biaya

Tamat SMA saya putuskan untuk merantau ke Jakarta. Banyak orang mencibir saya, mereka berkata, “Mau jadi apa kamu di Jakarta? wong cuma tamat SMA, paling-paling cuma jadi kuli panggul”. Tapi tekad saya lebih kuat daripada omongan mereka, sehingga saya tetap merantau ke Jakarta.

Hari pertama saya sampai Jakarta, saya pikir orang Jakarta baik-baik, jadi saya percaya saja ketika ada yang menawarkan bantuan untuk membawakan tas saya. Tapi ketika saya lengah, mereka malah membawa kabur tas saya. Dengan hanya tersisa pakaian yang melekat ditubuh saya dan beberapa rupiah uang dikantong saya, saya mencoba melamar kerja. Satu-persatu tempat saya datangi, tapi tidak ada yang mau mempekerjakan saya, yah mestinya saya dengarkan omongan orang-orang desa.


Ya Tuhan, apa mungkin nasib saya cuma jadi orang susah? bukannya setiap orang yang mau berusaha patut dapat kesempatan. Akhirnya ada yang mau mempekerjakan saya, walaupun cuma jadi loper Koran, tapi setidaknya bisa untuk makan sehari-hari. Saya termasuk beruntung karena saya bisa tinggal disebuah gudang tua, jadi saya tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar kontrakan. Banyak orang bilang, gudang tua ini angker & banyak setannya, tapi saya ga takut karena setannya ga nagih uang buat bayar kontrakan.

Hari demi hari saya lalui sebagai loper Koran, hari demi hari juga saya kubur sedikit demi sedikit impian saya untuk menjadi orang kaya & dapat dikenang orang. Sebenarnya saya kecewa, karena semua yang saya dapat tidak sesuai dengan yang saya harapkan, memang benar kata orang “Life’s not perfect”. Entah karena kebodohan saya atau karena Jakarta memang kejam pada orang desa sehingga saya susah jadi orang kaya.

Saya mencoba beralih usaha, menjual alat tulis dan buku-buku pelajaran adalah tahap kedua bagi saya untuk merubah nasib kearah yang lebih baik. Biasanya saya berjualan di Pasar Senen, disitu banyak orang-orang yang sedang mengadu nasib seperti saya.Alhamdulillah untungnya lumayan.

Karena lelah hanya berjualan di kaki lima, belum lagi harus selalu tertekan karena tau bahwa setiap saat Kamtib merazia, saya harus sigap untuk langsung kabur. Akhirnya saya memutuskan mencoba membuat alat tulis dengan nama saya, saya pikir produk dan namanya harus yang unit agar menarik minat pembeli. Setelah berpikir panjang saya mendapat ide untuk membuat alat tulis yang berwarna-warni sehingga orang tidak bosan dan untuk nama, saya menggunakan nama saya sendiri “Stabilo”, agar nama saya selalu dikenang sampai akhir zaman. Sebagai lambang saya memilih angsa, karena angsa itu indah dan saya mau nama saya dikenang sebagai sesuatu yang indah karena telah memberi warna untuk dunia.


Ya siapa sangka produk saya laku keras, tercapai sudah tujuan hidup saya untuk menjadi orang kaya & dikenang semua orang. Meski telah berpuluh-puluh tahun orang-orang masih menggunakan Stabilo, Stabilo akan selalu ada untuk mengikuti perkembangan zaman. Stabilo dari cuma seorang anak desa menjadi orang yang diterima di Jakarta.